Monthly Archives: June 2014

Billy Dilarang Ikut Ujian

Di sini ujian merupakan kata lain dari ulangan umum menjelang kenaikan kelas, bukan hanya ujian nasional atau ujian lokal yang namanya ulangan-pun  distilahkan dengan kata ujian.

Namun masalahnya bukan terletak pada istilah ujian, tetapi ketika ulangan umum ini tiba apalagi menjelang kenaikan kelas seyogyanya setiap siswa harus mendapatkan kesempatan yang sama untuk mengikuti ujian kenaikan kelas ini, sejauh mana kemampuan mereka menyerap pelajaran yang sudah diajarkan oleh pihak sekolah dan yang sakit sekalipun diusakan untuk menempuh ulangan ini dengan paksa atau jika tidak ulangan susulan saking pentingnya hal tersebut agar tidak mengulang lagi di kelas yang sama dengan teman-teman baru.

Pagi tadi sebuah harian lokal memberitakan  bahwa “Billy Dilarang Ujian” dan pertanyaannya mengapa dilarang? karena konon pihak sekolah punya peraturan yang sudah bertahun-tahun diterapkan dan tak bisa dilanggar bagi siapapun siswa yang bersekolah disana. Billy termasuk siswa yang  kehabisan poin karena sering alpa.

Padahal menurut pengakuan ibu Billy sering tidak masuk sekolah dikarenakan sakit, sementara pemberitahuan sakit anaknya tidak dilengkapi surat keterangan sakit dari dokter dan itu harus.

Sebelum mendapat pemberitahuan anaknya dilarang ujian ia mengaku sempat tiga kali bertemu dengan wali kelas anaknya, namun dalam pertemuan itu pembicaraan tidak menyinggung soal pelanggaran yang sudah dilakukan anaknya.

Ibu Billy mengatakan:

“Bertemu pertma saat bayar uang komite, kedua saat pengambilan raport dan pertemuan ketiga saat saya menitipkan anak saya ke wali kelas, karena dia yang mengawasi anak saya selama sekolah.”

“Kepala dinas,Kepsek mengaku sudah empat kali panggil saya, tapi seingat saya tidak pernah. Mereka hanya panggil saya satu kali dan langsung menyampaikan informasi bahwa anak saya tidak bisa ikut ujian.” (Jambi Ekspres Kamis,05 Juni 2014 Hal:17)

Sekolah sebagai lembaga  pendidikan formal memerlukan banyak hal yang menopang untuk mendukung proses belajar mengajar yang baik antara lain kepentingan dan kualitas harus bisa seimbang sehingga peran  dari kepala sekolah dan guru, peran aktif dinas pendidikan dan atau pengawas sekolah, peran aktif orangtua dan peran aktif masyarakat sekitar sekolah.

Namun  orang tua tentu tidak dapat menyerahkan sepenuhnya pendidikan anak-anak mereka  kepada sekolah dan jika sekolah hanya merupakan lembaga yang membantu proses  pembelajaran, maka  dalam pemikiran saya seharusnya peran aktif diperlukan  semua orang tidak hanya pihak sekolah, tidak hanya orang tua, tidak hanya Diknas namun semua elemen yang peduli terhadap pendidikan bisa saling berkomunikasi, jangan sampai tersendat di bagian tertentu.

Sangat disayangkan jika siswa tak bisa mengikuti ujian kenaikan kelas kemudian tertinggal dan mengulang lagi,kan? berapa banyak waktu terbuang, biaya, perhatian, tenaga dan lain-lain dalam satu tahun, jika anaknya sadar dan tidak secara psikologis tidak terbebani untuk tidak naik kelas karena sudah melaksnakan ujian sebagai tolok ukur keberhasilan belajar? anaknya tidak minder bisa saja ia mengulang, tapi seandainya anak itu tak lagi memiliki semangat belajar apa jadinya? tugas tambah berat untuk mengembalikan semangatnya yang kendor.

Lain halnya dengan anak saya yang dengan sadar saya tarik dari sekolahan karena trauma terhadap perilaku Bullying yang dilakukan oleh Oknum pengajar , keterbatasan pilihan dan demi tumbuh kembang anak agar lebih baik,  tidak jadi korban prilaku pengajar  yang tak semestinya dalam pandangan saya, lagian anaknya juga baru saja menginjak enam tahun bulan lalu, tak apa dia mengulang kelas satu lagi di sekolah dasar yang lain.

Proses mediasi sebetulnya bisa saja dilakukan, atau klarifikasi yang layak bukan debat kusir yang mengeraskan urat syaraf. Namun setelah berbulan-bulan tak ada tanggapan terhadap aksi mogok sekolah anak saya dan tak ada reaksi cepat, alternatif lainpun  dijalankan, lebih baik ia mengulang di lembaga pendidikan lain yang tepat.